Pahami Bisnis dulu baru Valuasi : Study kasus SRIL

Pemahaman akan bisnis akan jauh lebih saya utamakan sebelum valuasi, karena valuasi adalah angka yang tidak absolut dan bisa berubah ubah seiring berjalannya waktu.


Tidak sedikit investor yang berlindung dibalik PBV murah, karena itu merupakan valuasi yang lebih minim berubahnya dibanding kinerja (PE) yang berubah secara volatile pertahun. 


Namun tidak selalu seaman itu, kondisi industry extreme mampu merontokan nilai buku sebuah emiten. Contohnya SRIL


Di tahun 2019 SRIL memiliki nilai buku 402/lembar, sedangkan harganya ditutup di angka 258, maka kala itu PBVnya berada dikisaran 0,6. 


berselang 3 bulan covid confirm masuk ke Indonesia pada 2 Maret 2020, SRIL pun terjun ke titik terendahnya di 125/lembar atau kisaran PBV 0,3 .


artinya jika kembali ke nilai bukunya investor berpotensi  mendapat keuntungan 300%, suatu angka yang fantastis. 


Selama 2020 muncul denial akan pandemi covid dengan segala dramanya, dan SRIL pun terlihat tidak terpengaruh dan tercermin selama 2020 mereka masih mampu mencetak laba per saham (EPS) 59/ PE 3 (harga 200) , setelah tahun sebelumnya laba per saham (EPS) 60 PE 3. 


Tidak heran investor kala itu menganggap ini hanya sementara, Yang membuat SRIL rebound dengan cepat dari 125 ke 160 hanya dalam tempo 1 bulan, dan ditutup di harga 272 di 2020.


di tahun 2021 adalah awal dari longsornya SRIL


Perlu di ingat laporan keuangan tahun 2020 di laporkan pada tanggal 1 April 2021, sedangkan Q1 2021 di laporkan 4 maret 2022 , iya 2022.. telat 1 tahun. Dan suspensi  dimulai pada 18 Mei 2021 ketika belumm mampunya SRIL membayar pokok bunga sebesar US$ 25 juta.  


Investor kontrarian yang melakukan pembelian hanya bisa berhitung berdasarkan nilai buku tahun 2020. dan akhirnya harus menerima fakta PBV dengan MOS tinggi harus berubah menjadi PBV minus dengan resiko kebangkrutan,  setahun setelah saham mereka terkunci. 


PBV yang dijadikan benteng terakhir dengan keamanan nilai buku yang tidak sevolatile PE akhirnya berubah menjadi kerugian maksimal di depan mata. 


Dari data Balance Position ada sekitar

4M lembar Lokal Individu

12jt lembar Dana Pensiun

12M lembar lokal korporat

Baik ritel maupun institusi menunggu suspensi terbuka


saya pun termasuk korban cutloss SRIL 2020 karena kala itu baru masuk pasar modal dengan pemahaman yang sekedar PBV murah tanpa cek perushaan.  di awal 2021 saya fokus belajar bandarmology + teknikal , SRIL tidak lagi menjadi perhatian.


Berselang 3 tahun akhirnya memilih memahami Bisnis dulu baru valuasi, jika ada PBV murah, saya akan cek dulu baik hutangnya dan Aset Berkualitasnya serta memastikan CFOnya mampu membayar cicilan utangnya. Untuk menghindari kejadian serupa di rontoknya Nilai Buku SRIL


Tentu kejadian yang menimpa SRIL tidak sepenuhnya kesalahan managemen, siapa yang mengira pandemi akan tiba? dan sudah menjadi hal umum Textile kala itu meminjam uang ke bank untuk menyambut momentum Q1-2 lebaran. 


Saya yakin ada beberapa investor yang memahami bisnis textile, mampu keluar di awal 2021 ketika melihat annual report 2020 ada hutang jangka pendek yang naik 2 kali lipat dengan CFO yang juga minus US$ 59jt dari sebelumnya positif US$ 1,3 jt di 2019.


Kesalahan yang di alami langsung memang lebih terngiang di kepala, tapi jika bisa belajar dari kesalahan orang lain jauh lebih baik sebelum mengalami kerugian serupa.


Bisnis dulu, baru valuasi

Komentar

  1. bang boleh tdk sharing hitung hitungan teknis valuasi setelah memahami bisnis perusahaan? Kapan dikatakan masih wajar sebuh harga saham itu...thanks sebelumnya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiki Taka Lionel MSIE

Universitas Negeri Youtube : Fundamental Saham

Cara saya valuasi EAST